Tuesday 28 May 2013

Kumpulan Cerpen Romantis dan Lucu Joko Pinurbo


 

Telepon Genggam

Di pesta pernikahan temannya ia berkenalan dengan perempuan yang kebetulan menghampirinya. Mata mengincar mata, merangkum ruang. Rasanya kita pernah bertemu. Di mana ya? Kapan ya? Mata: kristal waktu yang tembus pandang.

Di tengah hingar mereka berjabat tangan, berdebar-debar, bertukar nama
dan nomor, menyimpannya ke telepon genggam, lalu saling janji: Nanti kontak saya ya. Sungguh lho. Awas kalau tidak.

Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan tanda-tanda sakit jiwa. Jas yang seharusnya dilepas malah dirapikan. Celana yang seharusnya dicopot malah dikencangkan. Ingin ke kamar tidur, tahu-tahu sudah di kamar mandi. Mau bilang jauh di mata, eh keliru dekat di hati.

Masih terngiang denting gelas, lenting piano dan lengking lagu di pesta itu. Semuanya tinggal gemerincing rindu yang perlahan tapi pasti meleburkan diri ke dalam telepon genggamnya, menjadi sistem sepi yang tak akan pernah habis diurainya.

Ia mondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik antara toilet dan ruang tamu, menunggu kabar dari seberang, sambil tetap digenggamnya benda mungil yang sangat disayang: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.

Dipencetnya terus sebuah nomor dan yang muncul hanya tulalit yang membuat sakitnya makin berdenyit. Sesekali tersambung juga, namun setiap ia bilang halo jawabnya selalu Halo halo Bandung. Ia pukulkan telepon genggamnya ke kepala, tapi lalu diciumnya.

Kabar dari seberang tak kunjung datang, ia pergi saja ke ranjang: tidur barangkali akan membuatnya sedikit tenang. Ia terbaring terlentang, masih dengan kaos kaki dan jas yang dipakainya ke pesta, dan telepon genggam tak pernah lepas dari cengkeram. Telepon genggam: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.

Akhirnya terdengar juga bunyi panggilan. Ia berdebar membayangkan perempuan itu mengucap salam: Tidurlah sayang, sudah malam. Kau tak akan pernah kutinggalkan. Ternyata cuma umpatan dari seseorang yang tak ia kenal: Gile, tidur aja pake jas segala. Emangnya mau mati?

Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan dan tak pernah ada balasan. Hanya sekali ia terima pesan, itu pun cuma iseng: Selamat, Anda mendapat hadiah undian mobil kodok. Segera kirimkan foto Anda untuk dicocokkan dengan kodoknya.

Antara tertidur dan terjaga, antara harap dan putus asa, telepon genggamnya tiba-tiba berbunyi nyaring. Ia tempelkan benda ajaib itu ke telinganya dan ia dengar suara burung berkicau tak henti-hentinya. Suara burung yang dulu sering ia dengar dari rerimbun pohon sawo di halaman rumahnya, rumah ibu-bapaknya.

Di luar hujan telah turun, terdengar suara peronda meninggalkan gardu. Ia ingin tidur saja karena merasa tak ada lagi yang mesti ditunggu. Ketika untuk terakhir kali ia mencoba menghubungi nomor perempuan itu, ia terkesiap takjub melihat layar telepon genggamnya
memancarkan gambar gerimis mengguyur senja.

Kalau harus gila, gila sajalah. Ia ingin pulas dalam mimpi yang ia tahu tak pernah pasti. Emangnya gue pikirin? Ia pura-pura tak acuh, padahal sangat butuh. Ia betulkan jasnya, genggam erat surga kecilnya. Lalu terpejam, terlunta-lunta: tubuh rapuh tak berdaya yang ingin tetap tampak perkasa.

Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi menolongnya, telepon genggamnya tiba-tiba memanggil. Ia dengar suara anak kecil menangis tak putus-putusnya. Nyaring, lengking, lebih lengking dari hening. Namun ia terpejam saja, terpejam sebisanya, sementara telepon genggamnya meronta-ronta dalam cengkeramannya.

Apa yang sedang ia bayangkan? Mungkin ia melihat seorang anak lelaki kecil pulang dari main layang-layang di padang lapang dan mendapatkan rumahnya sudah kosong dan lengang. Hanya terdengar suara burung berkicau bersahutan di rerindang ranting dan dahan. Hanya ada seorang anak perempuan kecil, dengan raut rindu dan binar bisu, sedang risau menunggu. Seperti saudara kembar yang ingin benar memeluknya dalam haru, mengajaknya bermain di bawah pohon sawo: pohon hayat yang tak terlihat waktu.

(2002)

Ojek

Di pertigaan jalan yang selalu ramai itu terdapat pangkalan ojek yang dikuasai oleh kira-kira dua puluh laki-laki berseragam hitam. Mereka siap mengantar siapa saja ke tempat terpencil yang tak terjangkau kendaraan umum. Untuk menunjukkan kekompakan, mereka memakai helm berwarna jingga, warna yang sangat mudah dikenali oleh pengguna jasa mereka. Bagi saya yang baru pertama kali akan naik ojek dari sana, tidak mudah membedakan mana tukang ojek yang ramah dan mana yang suka marah sebab wajah mereka sama dinginnya.

Karena sudah larut petang, kendaraan yang menuju ke tempat yang akan saya datangi sudah tidak jalan. Tidak ada cara lain, harus naik ojek. Begitu turun dari bus, saya langsung disergap oleh seorang tukang ojek bermata garang. Semula ia tampak asing dengan alamat yang saya sebutkan. Baru setelah saya bujuk-bujuk dengan ongkos yang jauh lebih tinggi, dengan senang hati ia bersedia mengantar saya. “Kita cari saja, pasti ketemu,” ujarnya.

Diam-diam saya merasa was-was mendapat tukang ojek yang sangat mencurigakan. Sepanjang perjalanan saya berdebar-debar seraya tak henti-hentinya berdoa memohon keselamatan. Apalagi jalanan gelap dan sepi, naik-turun penuh tikungan. Saya jadi teringat berita di koran tentang tukang ojek gadungan yang merampok dan kemudian menghabisi penumpangnya sendiri. Ketakutan saya makin berlipat ganda karena sepanjang perjalanan si tukang ojek diam saja, menjalankan sepeda motornya juga seenaknya, tidak mau tahu bahwa penumpang adalah raja.

“Syukur alhamdulillah, selamat juga akhirnya!” Itulah yang segera diucapkan si tukang ojek begitu sampai di tempat tujuan. Lho, seharusnya kan saya yang mengucapkan itu? Tidak saya duga, tukang ojek itu pun berdebar-debar sepanjang perjalanan karena ia teringat temannya sesama tukang ojek yang tewas mengenaskan setelah dirampok dan dianiaya oleh penumpangnya sendiri. Wah, draw kalau begitu. Tapi saya tetap merasa rugi karena diam-diam saya dicurigai sebagai pencoleng berlagak penumpang.

Indah sekali kompleks perumahan yang saya kunjungi ini. Terletak di atas sebuah bukit, dari ketinggiannya yang hening dan asri saya bisa menyaksikan gugusan cahaya warna-warni di bawah sana. “Itu kota saya,” kata saya. Kemudian saya masuk gerbang, mencari-cari rumah mungil tempat sahabat saya yang baik hati sedang beristirahat. Ia mati dengan sederhana dalam perjalanan naik ojek menuju desa kelahirannya setelah sekian lama hidup makmur dan sejahtera di kota, tapi konon gagal total dalam petualangan cinta. Tukang ojek yang mengantarnya pulang terkena serangan jantung mendadak; sepeda motornya terkejut, kehilangan keseimbangan, kemudian meluncur ke dalam jurang bersama penumpangnya.

“Tunggu sebentar ya, saya mau bicara dengan teman saya,” pinta saya kepada tukang ojek. Tanpa berpikir panjang, tukang ojek yang penakut itu cepat-cepat ngacir setelah sebelumnya berkata, “Kalau tahu mau ke kuburan, saya tidak akan sudi mengantarkan!” Wah, tukang ojek itu tidak tahu bahwa jika suatu saat nanti saya tiba di surga, hal pertama yang akan saya lakukan adalah naik ojek keliling kota, bersenang-senang menikmati tabungan.

(2003)

Lebih Dekat dengan Engkau

Tidak mudah mendapatkan waktu yang baik untuk menjumpai engkau. Pagi engkau masih tidur. Malam engkau sibuk menyendiri dan melukis. Secara kebetulan saja aku bisa bertemu engkau.

Ketika aku tiba di rumahmu, engkau sedang mandi. Engkau penggemar mandi tampaknya. Mandimu lama dan riang sekali. Kudengar engkau bersenandung. Senandungmu menjangkau relung yang telah lampau.

Aku terdiam di ruang tamu. Termangu. Melihat-lihat kau dalam pigura: sedang duduk berdua dengan senja di halaman rumah yang rindang, wajahmu gemilang oleh kemilau mambang.

Lama ditunggu, mandimu selesai juga akhirnya. Kau melongok ke ruang tamu. “Selamat siang! Maaf ya, tadi terlambat bangun. Semalam melukis sampai pagi.” Lalu kau minta ijin untuk mengeringkan rambut yang habis dicuci. Lalu kau muncul bersama hitam: hitam bajumu, hitam celanamu, hitam rambutmu, hitam kopimu.

“Ayo minum. Mumpung masih hitam,” kata kau, lalu kaupersilakan aku bicara. “Tapi jangan lama-lama. Sebentar lagi aku harus melukis. Selagi masih bisa berdamai dengan warna.”

***

Engkau biasa bangun siang?
Ya, itu hobi. Lebih tepatnya pilihan. Entah mengapa aku tidak suka melihat terbitnya matahari.

Engkau penggemar mandi?
Mandi adalah senang-senang. Bagi orang lain mandi mungkin tugas atau pekerjaan. Atau kontemplasi. Atau melankoli. Untukku mandi adalah pembebasan.

Maaf, tampaknya engkau suka berlama-lama mandi.
Tergantung suasana hati. Kalau hati senang, mandi juga senang. Dan lama. Kalau hati sedih, mandi adalah penghiburan. Dan bisa lebih lama.

Apakah kau suka mandi sambil menyanyi dan menari?
Ya itu tadi, tergantung suasana hati.

Bisa diperagakan?
Ah, kau norak sekali!

Adakah hubungan perilaku mandi dengan masa kecil seseorang? Aku pernah membaca buku psikologi mandi. Konon mandi bisa merupakan pelampiasan perasaan-perasaan terpendam yang erat kaitannya dengan memori dan pengalaman masa silam.
Bohong! Mandi ya mandi. Titik.

Engkau tidak sedang menyembunyikan diri, bukan?
Ah, seperti psikolog saja.

Memang pernah bercita-cita jadi psikolog, tapi entah mengapa tersesat jadi wartawan.
Wah, kalau begitu rugi dong bicara dengan orang tersesat.

Aku memang tersesat dalam kepedihan matamu.
Gombal!

***

Hari makin beranjak siang. Rumahmu terasa lengang. Makin lengang, makin luas dan ngiang oleh alunan Mozart yang timbul-tenggelam. Engkau minta ijin untuk rehat dulu. Engkau masuk kamar. Kau bilang mau masuk kanvas sebentar. Mau mengaduk warna. Membetulkan garis-garis senja.

Dengan wajah berbinar-binar engkau muncul kembali bersama hitam: hitam bajumu, hitam celanamu, hitam rambutmu, hitam lengkung langit matamu.

***

Engkau tidak takut sekian lama tinggal sendirian? Engkau tidak pernah kesepian?
Oh tidak. Mungkin malah sepi yang takut dengan kesendirianku.

Bisa engkau jelaskan?
Kesendirian bisa sangat berbahaya jika ia tegar dan kuat. Sepi akan limbung, lalu merasa kehilangan alasan kehadirannya karena tidak mendapatkan antagonisnya.

Wah, agak berbau filsafat juga.
Harus! Supaya kau bingung. Supaya aku menang.

(Engkau tertawa ngakak dan aku senang.)

Sejak tadi aku mendengar cericit tikus di rumah ini. Engkau suka memelihara tikus?
Tikus-tikus itu dipelihara sepi untuk melawan kesendirianku. Tapi cericit tikus justru membelaku.

Engkau tinggal di rumah ini dalam rangka menyendiri atau melarikan diri?
Apa bedanya?

Menyendiri itu menyepi atas kemauan sendiri. Melarikan diri itu minggat atas paksaan sendiri.
Enggak lucu! Keduanya salah. Aku cuma ingin berdamai dengan diri sendiri. Aku benci bunuh diri.

Aku dengar rumah ini ditunggui laki-laki tanpa celana yang suka muncul malam-malam dengan darah mengucur dari kelaminnya. Kapan aku bisa bertemu dengannya?
Stop! Engkau jahat. Engkau mulai memasukiku.

Maaf. Satu lagi. Besok engkau ulang tahun. Keberapa?
Enam puluh.

Oke. Selamat ulang tahun ke-60. Dirgahayu!

***

(Wawancara imajiner selesai. Pelukis itu termenung di depan kanvas. Berpikir keras bagaimana caranya menempatkan sosok hitam perempuan itu di tengah lanskap senja tanpa mengganggu panorama warna.)

(2003)

No comments:

Add Comment

Berkomentar dengan baik dan tidak ada istilah melecehkan dengan format mencemarkan nama baik,...