Sunday 27 April 2014

CETAK BIRU [1998]



Sewujud bangunan hadir di setiap kepala, tujuan yang mendenyutkan nyawa ke dalam cetak biru. Satu demi satu mimpi tersusun rapi, berlandaskan fondasi mantap, terekatkan semen yang kuat. Lalu bangunan itu dilengkapi dan di genapi, sampai lahirlah utuh ke dunia materi.

Setiap kepala memiliki rancangan bermacam-macam, pilihan bahan yang berbeda-beda. Ada yang bahagia dengan gubuk sederhananya, ada yang baru terpuaskan dengan julangan menara.

SPASI [1998]



Seindah apapun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?

Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin di cekik, jadi ulurlah tali itu.

LILIN MERAH [1998]



Ada kalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun yang terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam, menembus rahasia terciptanya waktu.

Keheningan menghapuskan kenangan, mengembalikan cinta yang hilang, menerbangkan amarah, mengulang manis keberhasilan dan indah kegagalan. Hening menjadi cermin yang membuat kita berkaca- suka atau tidak pada hasilnya.

Saturday 19 April 2014

CUACA [1998]



Membicarakan cuaca
Cuaca bagi kami adalah metafora. Menanyakan cuaca menjadi ungkapan yang digunakan saat masing –masing pihak meyimpan hal lain yang gentar di utarakan.
“bagaimana cuacamu?”
“aku biru”
“aku kelabu.”

DIAM [2000]




Malam memuram. Diammu menginfeksi udara dan membuat dunia sungkan bersuara. Dunia 4 x6 meter tempat kita duduk  berdua.
Lenganmu kautarik menjauh untuk merengkuh dirimu sendiri. Tidak apa-apa. Aku mengerti. Duka membuatmu demam, dibuka kedinginan tapi dibungkus dua pasang lengan bikin kamu keringatan. Bukan bearti saya tidak butuh kamu, dulu sekali memperingatkan.
Aku mengerti. Kesedihan selalu membawa pulang ke rahim ibu tempat engkau meringkuk nyaman sendirian padahal tidak. Ada dunia di sekelilingmu. Ada aku disampingmu. Tapi kamu mendamba rasa sendiri itu.
Diammu memapahku ke ujung

LARA LANA



Sederet angka mencuat dari kertas putih, menusuk mata Lana. Ada sebersih takjub juga ngeri. Seberantak angka yang susah dihafal mampu membongkar kenangan usang dan memberinya makna baru. Dia yang baru. Aku yang usang.
Ruang tunggu selalu memancing dilema dalam hatinya, tapi tidak pernah seperti ini. Lana betul-betul tergerak untuk menelepon. Mungkin karena Lana sudah tak yakin kapan akan kembali, akankah dirinya kembali.
Lana memencet empat angka pertama dari sepuluh digit yang tertera. Dadanya berdegup kencang sampai sakit rasanya. Bibirnya bergetar resah, mengantisipasi. Begitu te