Saturday 19 April 2014

LARA LANA



Sederet angka mencuat dari kertas putih, menusuk mata Lana. Ada sebersih takjub juga ngeri. Seberantak angka yang susah dihafal mampu membongkar kenangan usang dan memberinya makna baru. Dia yang baru. Aku yang usang.
Ruang tunggu selalu memancing dilema dalam hatinya, tapi tidak pernah seperti ini. Lana betul-betul tergerak untuk menelepon. Mungkin karena Lana sudah tak yakin kapan akan kembali, akankah dirinya kembali.
Lana memencet empat angka pertama dari sepuluh digit yang tertera. Dadanya berdegup kencang sampai sakit rasanya. Bibirnya bergetar resah, mengantisipasi. Begitu te
rdengar nada sambung nanti, Lana siap berekspresi layaknya pose untuk berfoto yang terakhir kali. Kata ‘apa kabar’ akan meluncur dengan semangat penghabisan matahari sore sebelum dipadamkan malam. Lalu ia lancarkan sepaket basa-basi dalam urutan yang tepat, seperti yang selalu dilatihkannya dalam hati sebelum lelap tidur, agar percakapan mereka tercatat sejarah sebagai yang paling mengasyikkan.
Lalu perasaan itu. Rasa rindu yang akan ia ungkapkan hati-hati, dicicil sehingga tidak terasa picisan. Rasaya sayang dikemas dalam kiasan seperti membungku puteri dalam gaun pesta lalu dilepas anggun ke lantai dansa. Cantik mengundang tapi membuat segan. Semua itu telah dilatihkannya berhari-hari. Bertahun-tahun.
Dua angka sebelum digit terkahir. Jarinya bertahan oleh detik yang tahu-tahu membeku. Detik yang tahu-tahu melebar dan membentangkannya dua puluh tiga tahun perkawanan. Dia selalu memuja Lana, begitu kata semua orang. Tapi mereka tidak bsia bersama karena alasan yang tak perlu dipertanyakan lagi. Kamu itu bajaj bermesin BMW, begitu Lana mengungkapkan padanya saat didesak.
Lana kenal banyak BMW bermesin bajaj, dan semua itu habis ia hina-hina. Untuk benar-benar bersanding sebagai pacar Lana, seseorang harus jadi mobil mewah Eropa luar dalam. Lana yang unik dan glamor. Kamu cukup jadi kacung intelektualku saja, kata Lana padanya. Mereka berdua lantas tertawa-tawa, mereka suka perumpamaan itu, sekali pun hatinya patah setiap kali kata ‘kacung’ terlontar dari bibir Lana yang menguncup menggemaskan.
Dia ingin jadi pendekar sakti, seorang master, ilmuwan kaya raya yang menciptakan temuan-temuan hebat untuk memajukan umat manusia. Lana ingin menjadi anggota dari kelompok ultraelit yang memperoleh teknologi dari makhluk Mars untuk membangun koloni rahasia di bulan. Mereka percaya teori konspirasi dan secara berkala bertukar informasi yang dikarang sendiri. Tak ada orang yang lain mampu menghibur Lana sebegitu sempurna, memuaskan rasa humornya, menjajal daya khayalnya.
Masa kuliah mereka habiskan di tempat berbeda. Dia kuliah di UI dan untuk itu terpaksa menumpang di dapur pamannya di Lenteng Agung karena beliau beranak delapan dan itulah satu-satunya tempat yang masih muat digelari kasur. Lana kuliah di USC yang mengharuskannya tinggal di Los Angeles. Sama-sama ‘L.A.’, baru kalau diuraikan perbedaannya terlihat, canda mereka selalu sama. Namun ada kalanya persamaan insignifikan itu, aksara L dan A, menjadi satu-satunya penghibur kala kangen mereka tak lagi terbendung.
Lana tidak menyelesaikan kuliahnya di USC, dan itu tidak masalah. Bisnis keluarganya terlalu banyak untuk menunggu sebuah gelar kesarjanaan. Lain halnya dengan dia yang mencicil gelar demi gelar, mengetuk banyak pintu demi beasiswa, lalu kembali berjuang meniti karier akademis yang terjal, yang tak akan pernah membuatnya sekaya raya Lana.
Saat dia menjadi dosen, hidup sederhana dalam rumah cicilan tipe 35 di perumahan milik universitas yang sebagian masih rawa-rawa, Lana membantunya pindahan, bahkan menginap dan ikut tidur di atas tikar. Pendar-pendar televisi pemberiannya menyemarakkan dinding polos yang tak berhias. Lana tidak punya koloni di bulan, tapi penghasilannya lebih dari cukup unutk menghadiahkan televisi.
Lana tinggal seminggu di rumah itu. Setelah kita mencoba hidup 24 jam x 7 hari dengan seseorang dan tidak merasa bosan, maka orang itu bisa kita nikahi, Lana berteori. Mendengar ucapan Lana, ia tertawa sampai berurai air mata, diikuti Lana sampai tercekik-cekik. Saya tidak mungkin menikahi kamu, ia bercelutuk di ujung tawanya. Barulah Lana sadar, mereka berdua tertawa karena alasan yang berbeda.
Suatu hari dia bilang kalau dia punya pacar. Baru seminggu. Seorang gadis tingkat akhir yang lugu, kaku, dan tidak seru. Tidak percaya UFO, tidak suka Kho Ping Hoo, dan tidak peduli ada tidaknya konspirasi global selama nasi tersaji di meja makan keluarganya setiap hari, selama adzan masih berkumandang lima kali sehari. Kenapa kamu bisa suka, Lana bertanya. Karena dia mau sama saya, ia menjawab. Lana spontan tertawa, kaku dan lama. Ia hanya tersenyum dan menunggu tawa Lana usai. Saya akan menikah, lanjutnya saat hening. Bagaimana kamu bisa menikahi orang yang baru kamu kenal, yang tak seru, yang tak bisa menghargai keunikan pikiranmu, yang tak bisa kamu ajak bercanda dan berkhayal semalam suntuk, cecar Lana yang mulai marah karena percakapan itu makin tidak lucu.
Dia diam, menatap Lana dengan lelah. Dia jemu menanti yang tak pasti. Dia jenuh menjadi pihak yang tak berdaya. Manusia mana yang tidak, pikir Lana. Namun dirinya tak bisa berbuat apa-apa. Keadaan mereka terlampau jauh berbeda. Terkadang Lana berpikir keajaibanlah yang melahirkan manusia satu ini. Bagaimana mungkin lingkungan serba kekurangan, kolot, konservatif, ortodoks, kampungan, dan segala ajektif yang menandakan sistem klaustrofobik sosial mampu menghadirkan dia yang sebegitu canggih dan gila. Seolah dia terbelah dalam dua dunia: dunianya bersama Lana dan bersama sisa dunia tanpa Lana.
Lana ingat saat terkahir kali nomor itu tertera di layar ponselnya: Besok saya lamaran. Doakan ya. Lana tergeli sendiri, apa yang harus didoakan? Hidup berjalan sesuai kontrak yang disepakati antar-roh sebelum terlahir menjadi daging di dunia. Apa pun yang terjadi bukanlah keberuntungan atau kesialan, melainkan eksekusi kontrak belaka. Jadi, apakah seseorang bisa dibilang sial kalau sebenarnya kesialan itu direncanakan? Lana tambah stres saat pertama kali mendengar konsep itu di retret anti-stres.
Akhirnya Lana tak tahan lagi, nelepon membabi buta: Saya mohon, jangan pergi melamar ke sana. Kalau kamu menikah, saya akan jadi orang paling kesepian di dunia. Kalau perlu, saya yang melamar ke orangtua kamu. Jangan bohongi diri kamu. Cuma saya yang mengerti siapa sebetulnya kamu…
Ia memotong, dingin, seolah disusupi roh asing yang tak Lana kenal: Selama ini kamu cuma mengenalku dalam versi yang kamu mau. Aku begitu karena kamu. Kamu tdak pernah tahu siapa diriku sebenarnya.
Lana menggeleng. Tidak mungkin. Barangkali ia salah sambung. Perjanjian macam apa ini? Benarkah ini roh yang sama, teman sebangkunya sejak SMA, yang selalu berkata mereka adalah sejiwa terbelah dua, soulmate? Lana menutup telepon. Aku ditipu. Breach of contract.
Anaknya yang paling besar sudah mau masuk SD, mereka masih tinggal di rumah yang sama. Lana tahu itu dari seorang alumni. Dan kamu belum menikah? Temannya itu bertanya, hati-hati. Lana menggeleng ringan dengan ekspresi yang bikin iri. Ada kemerdekaan di sana, penerimaan, dan keberanian untuk menjadi beda. Sejak dulu memang cuma Lana yang punya itu semua, temannya membatin. Bergaul dengan Lana seperti hanyut dalam air sejuk, tapi kesejukan itu lama-lama menjadi dingin yang mengintimidasi. Temannya pun permisi pergi, meninggalkan Lana yang kehilangan belahan jiwanya pada reuni akbar, pada sat jiwa-jiwa yang terpisah seharusnya kembali bertemu.
Digit terakhir. Jatuh pada angka nol. Jempol Lana gemetar seolah dibebani bergunung-gunung sampah batin yang dikoleksinya sepanjang hayat. Hatinya lalu mengukur dan menimbang: Akankah aku bertambah tenang bila berhasil membuktikan pada diriku, pada dia, pada dunia, kalau aku baik-baik saja?
Saut percakapan telepon akan membuktikannya. Satu dosis kejujuran sebelum Lana pergi meracuni tubuh dengan kemoterapi – racun yang berbohong jadi obat.
Jempol itu melayang di atas nol. Kejujuranlah obat sejati.
Suara sintetik bernada tinggi menggema di ruang tunggu yang lengang. Tombol terakhir dipencet sudah. Aku mencintaimu. Tidak akan berubah.
Tombol merah yang Lana pilih menghapus kesembilan digit angka pada layar ponsel yang menyala biru. Seorang perempuan berseragam menghampirinya, ‘Bapak Maulana, mari saya antar ke pesawat.’
Lana tidak terburu-buru. Tangan bergerak pelan dan khidmat. Pesawat itu pasti mau menunggu seorang pesakitan untuk melipat dan menyimpan secarik kertas ke dalam dompet, sebagaimana kertas itu sudah terlipat dan menunggu bertahun-tahun di tempat sama. Lalu Lana beringsut hati-hati ke kursi roda yang dibawakan khusus untuknya.
‘Tidak apa-apa, Pak?’ petugas itu bertanya saat melihat mata Lana.
Lana tersenyum tipis, ringan, ekspresi yang memancing rasa iri. Ada kejujuran di sana, kepasrahan, dan keberanian untuk menjadi beda. Namun ada juga bulatan air menyerupai angka nol yang menyembul di pelupuk mata. Lana menghancurkan bulatan itu dengan punggung tangan, ‘Tidak apa-apa.’

No comments:

Add Comment

Berkomentar dengan baik dan tidak ada istilah melecehkan dengan format mencemarkan nama baik,...