Monday, 22 July 2013

SIKAT GIGI

  Ia kembali melongokkan kepalanya keluar jendela, menatap langit yang berantakan oleh bintang dan ribut sendiri. Ia selalu histeris akan hal-hal yang tak kumengerti. Setelah kami berdua duduk di atas rumput, ia pun menjelaskan dengan tabah. "Coba lihat…langit begitu hitam sampai batasnya dengan bumi hilang. Akibatnya kerlip bintang dan lampu kota bersatu, seolah-olah berada di satu bidang. Luar biasa kan?"
Egi selalu mampu menggambarkan segalanya dengan tepat, indah dan rasional. Atau mungkin itulah satu-satunya cara agar aku mampu mengerti keindahan yang ditangkap matanya. Aku bukan pujangga dan tidak pernah menyukai makna-makna konotatif. Monokrom dan kurang dimensi, begitu katanya selalu tentang diriku. Pragmatis dan realistis, demikian aku menerjemahkannya. 



Dengan segala rasio dan akal, aku pun mencintai wanita di sampingku itu. Egi, yang telah lama kukenal, teman baikku, sosok yang dapat kubanggakan sekaligus kukagumi. Ia mampu berpanjang lebar menjelaskan filosofi cinta dan adieksistensinya, sementara aku sendiri tak akan pernah menganalisis cinta. Yang aku tahu, aku amat peduli dengannya, sebisa mungkin ingin selalu bersamanya, dan aku yakin kami dapat bekerja sama membina apa pun, termasuk rumah tangga. Itulah aplikasi substansi Cinta bagiku, dan cukup sekian. Egi juga tahu itu.
"Kamu nggak kedinginan?" tanyaku sambil siap-siap membuka jaket.
Mendengarnya Egi yang hanya memakai cardigan tipis menjadi sadar akan dinginnya cuaca. Ia pasti telah hanyut jauh dalam dunianya sendiri. Dalam balutan jaketku Egi pun meringkuk. Matanya masih menerawang. Aku tahu apa yang ia lamunkan apalagi setelah mendengar helaan nafasnya, tapi aku enggan bertanya. Untuk apa mengungkit sesuatu yang akan membuat pikiranku terganggu.
Tak lama kemudian kami kembali ke Jakarta.
***
"Sudah lama ya kita nggak jalan-jalan ke Puncak lagi," ujar Egi yang melengang dengan sikat gigi di tangan. "Terakhir kapan ya?"
"Fiuh, bulan yang lalu? Waktu langit dan bumi jadi satu itu."
Egi menatapku lucu. "Kamu punya ingatan hebat, tapi kamu mengatakannya sama datar dengan bilang’1+1=2’…"
Suara sikat beradu dengan gigi pun menggema dari kamar mandi. Egi selalu lama kalau menyikat gigi. Aku pun kembali meneruskan bacaanku, dengan kaki berselonjor di sofa panjang.
Tiba-tiba suara gosokan itu berhenti. Malam yang heningh membuatku menjadi awas akan perubahan yang terjadi. Aku melirik sedikit, pintu kamar mandi terbuka dan Egi tengah berdiri mematung dengan sikat gigi penuh busa.
"Gi….kamu baik-baik saja?"
Cukup lama Egi tidak menjawab, sampai akhirnya perlahan ia berkumur.
"Tyo, saya kepingin pulang saja ya." Dengan lunglai ia menghampiriku.
"Sudahlah, kamu di sini saja, besok pagi saya antar pulang. Saya malas keluar lagi," kataku seraya menguap. Aku tak perlu berbasa-basi dengan Egi. Kami sudah cukup dewasa dan cukup dekat satu sama lain untuk tidak lagi canggung kalau Egi terpaksa menginap di tempat tidurku sementara aku tidur di sofa panjang ini, bangun pagi dan sarapan bersama, sampai aku mengantarkannya pulang atau langsung ke tempat kerjanya. Egi bahkan menginventariskan sebuah sikat gigi di kamar mandiku.
Tiba-tiba mata itu berkaca-kaca. "Saya merasa nggak karuan," gumamnya pelan.
Mendadak aku merasa bersalah. Seringkali aku bersikap terlalu kritis kalau Egi menangis. Aku selalu berusaha menginjeksikan logika yang kupikir perlu namun ternyata malah membuat ia makin sedih dan menganggap aku tak bisa atau tak suka menolongnya. Tak heran kalau ia lebih memilih pulang daripada harus meledakkan tangisnya di depanku.
"Kamu di sini saja. Menangis sesuka hati. Saya janji akan diam, oke?" Aku tersenyum dan menariknya duduk di sampingku, kembali membaca.
"Tyo…" panggilnya setelah sekian lama mematung.
"Hmmm?"
"Saya suka sekali menyikat gigi. Mau tahu kenapa?"
Ingin sekali kulontarkan jawaban spontan, seperti ‘supaya gigi tidak bolong’ atau ‘afeksi berlebihan akan rasa odol’, tapi kuputuskan untuk diam.
"Di saat saya menyikat gigi saya hampir tidak mendengar apa-apa selain bunyi sikat. Nyaris tidak memikirkan apa-apa karena berkonsentrasi penuh walaupun cuma dua atau tiga menit. Dunia saya mendadak sempit…hanya gigi, busa dan odol. Tidak ada ruang untuk yang lain. Hitungan menit, Tyo, tapi berarti sangat banyak."
Aku tahu apa yang kau maksud, wahai Egi, pujanggaku sayang. Untung sudah cukup lama aku terlatih membaca makna-makna tersirat dalam kalimatnya, walaupun belum cukup lama untuk mengerti alasan-alasan di balik itu semua. Seperti untuk apa ia memilih menikmati luka yang cuma bikin ia sedih dan menangis.
Aku menatapnya iba. Egi dengan air mata yang berlinangan di pipi, tangisannya yang tak pernah bersuara. Dan linangan itu menderas ketika aku menutup bukuku, memilih untuk merangkulnya.
"Kamu…pasti sebenarnya…sudah ingin ngomel-ngomel." Ia berbisik susah payah.
"Saya tetap tidak mengerti. Tapi semuanya terserah kamu…" Aku menghela nafas seraya menepuk-nepuk bahunya.
Saat seperti ini membuatku berpikir lagi, jangan-jangan aku terlahir cacat. Ada satu bahasa di semesta ini yang tidak masuk ke dalam paket kelahiranku, makanya aku selalu gagal mengerti, sekalipun seorang ahlinya ada sangat dekat di sini. Egi adalah guru besar bahasa aneh itu. Bahasa yang berasal dari planet tempat cinta adalah segala-galanya dan mempunyai logika dan hukumnya sendiri. Dan apa pun yang kupelajari selama ini tetap tak mampu mendekatkanku pada pengertian komprehensif akan hal satu itu.
***
Ulang tahunnya yang ke-27. Setelah makan malam bersama teman-teman kami yang dipenuhi tawa dan keceriaan, kini kami kembali berdua. Matanya yang menerawang jauh, kakinya yang meringkuk, nafasnya yang mulai ditarik-ulur. Demikianlah Egi, bahkan di hari seistimewa ini sekalipun.
Keheningan selalu membawanya ke perbatasan yang sama, batas antara dunia riil dan satu alam yang masih tak kumengerti itu. Dan hampir tak ada yang dapat menahannya menyeberang.
"Ini…hadiah untuk kamu." Aku membuyarkan lamunannya.
Egi agak terkejut melihat kotak yang disodorkan di depan amtanya. Ia pun tertawa kecil. "Sejak kapan kamu kasih kado segala?"
"Usia 27 adalah usia penting." jawabku sekenanya.
Tawanya semakin lebar ketika ia tahu apa isi kotak itu.
Aku langsung sibuk menjelaskan, "Sikat gigi elektronik. Bergaransi, watt kecil, anti plak, sikatnya banyak dan masing-masing beda fungsi. Seri ini punya kemasan khusus buat travelling, jadi kamu bisa pakai di rumah atau bawa ke tempat saya…tidak akan terlalu repot. Ini buku panduannya…"
"Tyo," potongnya geli seraya menahan tanganku. "Saya tahu kamu adalah manusia paling realistis yang pasti akan memilih hadiah praktis seperti ini, tapi…kenapa sikat gigi?"
Aku menatap kedua mata itu, dan untuk pertama kalinya ada kegugupan yang entah hinggap dari mana.
"Soalnya…ehm soalnya…" Aku gelagapan dan buru-buru menunduk.
Kuatur nafas sejenak dan mengusir jauh-jauh keparat yang telah menghambat lidahku, melirik sekilas dan mendapatkan Egi tengah menunggu jawabanku sambil tersenyum. Senyuman yang mampu mencairkan sel-sel kelabu otak. Senyuman Egi dari dunia nyata, bukan antah berantah itu.
"Saya tidak pernah mengerti dunia dalam lamunan kamu," kata-kata itu akhirnya meluncur keluar.
"Pengharapan apa yang kamu punya, dan kekuatan apa yang sanggup menahan kamu sekian lama di sana. Tapi kalau memang menyikat gigi adalah satu dari sedikit tiket yang bisa membawa kamu pulang, maka saya ingin kamu semakin asyik menyikat gigi, semakin lama menggosok. Karena berarti kamu lebih lama lagi di sini, di satu-satunya dunia yang saya tahu dan mengerti. Satu-satunya tempat di mana saya eksis bagi kamu."
Ia terperangah. Menjauh.
"Egi…jangan…" Langsung aku berkata was-was.
"Kamu tahu perasaan saya dan saya tidak pernah mau membahas soal ini lagi…"
"Saya juga tidak mau, tapi inilah kenyataanya. Kenyataannya saya tidak pernah berubah dari bertahun-tahun yang lalu… dan saya pikir kamu juga tahu itu. Ya, ampun, buka mata kamu sekali ini saja Egi!"
"Kamu sahabat saya… sahabat terbaik…" Ia makin menjauh. Bersiap menutup diri.
"Sampai kapan kamu terus mengharapkan dia?"
Tak tahan aku pun berseru, "Orang yang tidak pernah hadir di saat-saat kamu paling membutuhkan dukungan, orang yang mungkin memikirkan kamu hanya seperseribu dari seluruh waktu yang kamu habiskan untuk melamunkan dia, orang yang tidak tahu bahwa kamu bahkan harus menyikat gigi hanya untuk bisa melepaskan dia barang tiga menit dari pikiran kamu? Orang yang bahkan sudah punya kehidupannya sendiri?"
"Dia ingin datang. Biar itu cuma dalam hati. Dan dia akan menjemput saya, di kesempatan pertama yang dia punya. Saya juga bisa merasakan kalau dia selalu memikirkan saya."
"Kapan kamu akan bangun, Egi?" keluhku letih.
Ia menggeleng. "Ini yang namanya cinta sejati. Satu hal yang tidak kamu tahu."
Aku balik menggeleng. "Itu kebutaan sejati. Kamu memilih menjadi tuna netra padahal mata kamu sehat. Kamu tutup mata kamu sendiri. Dan kesedihan kamu pelihara seperti orang yang mengobati lukanya dengan cuka dan bukannya obat merah."
Egi menyentuh wajahku sekilas. "Semoga suatu saat kamu mengerti."
Kata-kataku habis sudah. Dalam hati aku menolak tegas pernyataanya dan ia pun bisa melihatnya jelas. Apa yang ia yakini tentang perasaannya berada di luar akalku. Mana mungkin aku bisa mengerti.
Kami berdua berdiri berhadapan, dua manusia yang telah bersahabat bertahun-tahun lamanya, namun malam ini kami merasa asing satu sama lain. Aku mencintai Egi. Egi mencintai pria lain, yang sekarang bahkan sudah berumah tangga. Demikianlah fakta sederhana yang telah kami ketahui bersama. Kemalangan itu diperparah lagi karena keinginanku yang logis untuk memilikinya bukanlah cinta bagi Egi, sementara cintanya Egi adalah substansi ekstra-terestrial bagiku.
Kami tak mampu lagi berkomunikasi.
***
Hampir genap setahun tak ada Egi dalam hari-hariku. Tidak ada lagi yang menerjemahkan keindahan alam. Tidak ada lagi yang menunjukkan signifikasi di balik hal-hal remeh. Tidak ada lagi yang duduk di sofa panjangku untuk melalap buku-buku filsafat. Tapi yang paling aku kehilangan adalah mendengarkan ia menyikat gigi.
Hampir setiap saat aku berusaha merasionalkan semua ini dan kesimpulanku selalu sama…aku harus menemuinya lagi. Bukan satu hal yang sulit untuk menemukannya. Ia masih Egi yang dulu, yang dapat kutemui sore-sore sedang membaca buku di bangku taman berbukit-bukit di komples rumahnya. Yang sulit adalah mengungkapkan apa yang tak pernah aku sadari. Yang sulit adalah tidak punya harapan apa-apa sesudah aku selesai menyampaikannya nanti.
"Egi…"
Ia berbalik, kaget luar biasa ketika mendapatkanku muncul lagi dalam hidupnya begitu saja. Lebih kaget lagi ketika aku langsung duduk di hadapannya dan meraih jemarinay dnegan tanganku yang dingin karena tegang.
"Sebentar saja. Saya tidak akan lama," ucapku cepat untuk meredam rasa kagetnya.
Ia pun seperti tidak bisa berkata apa-apa, hanya jemarinya ikut jadi dingin.
"Saya tidak akan pernah jadi pujangga dan tetap ngantuk kalau baca buku filsafat. Saya tetap Tyo, si pragmatis realis yang melihat segalanya dengan tiga dimensi dan bukannya empat seperti kamu. Tapi sekarang saya mengerti kondisi aneh itu…" Aku menelan ludah. "Karena saya sudah mengalaminya. Kebutaan itu. Dan saya tahu sekarang, saya mencintai kamu bukan hanya dengan logika dan rasio. Bukan karena sekadar kamu memenuhi standar saya, tapi…karena saya juga mencintai kamu di luar akal. Satu tahun saya menemukan cukup banyak alternatif yang masuk akal, tapi saya memang tidak ingin yang lain. Hanya kamu. Apa adanya, termasuk alam lamunan yang tidak pernah ada saya di dalamnya."
"Dan saya tetap Tyo yang kalkulatif dan tidak mau rugi. Tapi saya benar-benar tidak mengharap apa-apa kali ini. Saya hanya ingin mengatakan ini semua dan sudah. Habis perkara." Aku menutup pernyataanku dengan senyum semampunya. Berusaha bangkit berdiri, walau berat sekali. Tangan Egi yang sedingin es batu tiba-tiba menahanku.
"Kamu mau kemana?" tanyanya lirih.
"Mm..jalan-jalan…" jawabku tidak yakin.
"Ikut," ujarnya pendek seraya berdiri melipat buku.
Kami berdua berjalan meninggalkan taman. Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Sama sekali tak ada jejak spasi kosong dari satu tahun yang sepi itu.
"Saya sendiri sudah banyak berpikir murni dengan sel-sel otak seperti yang kamu anjurkan, menerjemahkan apa yang kamu anggap absurditas. Dan kesimpulannya…" Ia berkata lamat-lamat, "Tidak akan ada orang lain yang mengerti alam itu selain kita sendiri. Tapi kemanapun yang saya pilih kamu tetap orang yang paling nyata dan paling berarti. Saya tidak harus menyikat gigi untuk bisa pulang. Kamu adalah jalan pulang, rumah yang nyaman dan tiket sekali jalan. Saya tidak ingin pergi lagi. Itu juga kalau kamu tidak keberatan kita menjalaninya pelan-pelan."
Perjalanaan singkat menuju mobilku sore itu adalah gerbang menuju sebuah perjalanan baru yang panjang.
***
Egi benar. Banyak hal yang tak bisa dipaksakan, tapi layak diberi kesempatan. Dan kesempatan itu harus ditawarkan setiap hari oleh kedua belah pihak. Aku pun benar, kami berdua mampu membangun apa saja, baik persahabatan belasan tahun maupun kebersamaan seumur hidup.
Setiap kali aku duduk di sofa dan memandang Egi yang asyik menyikat gigi, ketakutan itu kadang-kadang datang. Ketakutan kalau suatu hari aku terpaksa harus menariknya pulang dengan paksa, dan sikat gigi tak mampu lagi menjadi tiketnya. Ketakutan kalau aku harus kehilangan dunia absurd tempat perasaanku kepadanya bersemayam, dunia yang ternyata amat kusukai. Ketakutan yang timbul justru karena sekarang aku benar-benar mengerti perasaan Egi dan semua alasannya dulu. ***

No comments:

Add Comment

Berkomentar dengan baik dan tidak ada istilah melecehkan dengan format mencemarkan nama baik,...