[2001]
S
|
uratmu itu
tidak akan pernah terkirim. Karena sebenarnya kamu hanya ingin berbicara pada
dirimu sendiri. Kamu ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas
tangkai sedap malam yang kamu beli dari tukang bunga berwajah memelas, dengan
nyamuk-nyamuk yang cari makan , dengan detik jam.... tentang dia.
Dia,
yang tidak pernah kamu mengerti. Dia racun yang membunuhmu perlahan. Dia yang
kamu reka dan kamu cipta.
Sebelah
darimu mengingkan agar dia
datang, membencimu hingga muak dia mendekati gila,
menertawakan segala kebodohannya, kekhilafannya untuk sampai jatuh hati padamu,
menyesalkan magis yang hadir naluriah setiap kali kalian berjumpa. Akan kamu
kirimkan lagi tiket bioskop, bon restoran , semua tulisannya- dari mulai nota
sebaris sampai doa berbait-bait. Dan beceklah pipinya karena geli , karena asap
dan abu dari benda-benda yang ia hanguskan-bukti-bukti bahwa kalian pernah
saling tergila- gila –berterbangan masuk ke matanya. Semoga ia pergi dan tak
pernah menoleh lagi. Hidupmu, hidupnya, pasti lebih mudah.
Tapi
sebelah dari kamu menginginkan agar dia datang, menjemputmu, mengamini kalian,
dan untuk kesekian kali jatuh hati lagi, segila-gilanya, sampai batas gila dan
waras pupus dalam kesadaran murni akan cinta. Kemudian mendamparkan dirilah
kalian di sebuah alam tak dikenal untuk membaca ulang semua kalimat, mengenang
setiap inci perjalanan, perjuangan, dan ketabhan hati. Betapa sebelah dirimu
percaya bahwa setetes air mata pun akan terhitung, tak ada yang mengalir mubazir,
segalanya pasti bermuara di satu samudra tak terbatas, lautan merdeka yang
bersanding sejajar dengan cakrawala.... dan itulah tujuan kalian.
Kalau
saja hidup tidak berevolusi, kalau saja sebuah momen dapat selamanya menjadi
fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu stagnan disatu tiitik,
maka... tanpa ragu kamu akan memilih satu detik bersamanya untuk di abadikan.
Cukup satu.
Satu
detik yang segenap keberadaanya dipersembahkan untuk bersamamu, dia bukan
dengan ribuan hal lain yang menanti untuk dilirik pada detik berikutnya. Betapa
kamu rela membatu untuk itu.
Tapi hidup ini cair. Semesta ini
bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang
mekar. Hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk
mengikuti arus agungnya yang jujur tetapi penuh rahasia. Kamu, tidak
terkecuali.
Kamu
takut.
Kamu takut karena ingin jujur. Dan
kejujuran menyudutkanmu untuk mengakui kamu mulai ragu.
Dialah bagian terbesar dalam
hidupmu, tapi kamu cemas. Kita ‘sejarah’ mulai menggantung hati-hati di atas
sana. Sejarah kalian. Konsep itu menakutkan sekali.
Sejarah memiliki tampuk istimewa
dalam hidup manusia, tapi tidak lagi melekat utuh pada realitas. Sejarah
seperti awan yang tampak padat berisi tapi ketika di sentuh menjadi embun yang
rapuh.
Skenario perjalanan kalian
mengharuskanmu untuk sering menyejarahkannya, merekamnya, lalu memainkannya
ulang untuk dikepalamu sebagai sang kekasih impian Sang Tujuan, Sang Inspirasi
bagi segala mehakarnya yang termuntahkan kedunia. Sementara dalam setiap detik
yang berjalan, kalian seperti musafir yang tersesat di padang. Berjalan dengan
kompas masing-masing, tanpa ada usaha saling mencocokan. Sesekali kalian
bertemu, berusaha saling toleransi atas nama Cinta dan Perjuangan yang Tidak
Boleh Sia-sia. Kamu sudah membayar mahal untuk perjalanan ini. Kamu pertaruhkan
segalanya demi apa yang kamu rasa benar. Dan mencintainya menjadi kebenaran
tertinggimu.
Lama
baru kamu menyadari bahwa pengalaman merupakan bagian tak terpisahkan dari
hubungan yang diikat oleh seutas perasaan mutual.
Lama bagi kamu berani menoleh
kebelakang , menghitung, berapa banyakkah pengalaman nyata yang kalian alami?
Sebuah hubungan yang dibiarkan
tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumi, dan
alasan cinta yang tadinya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral,
investasi waktu, perasaan, serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak.
Cinta butuh dipelihara. Bahwa di
dalam sepak terjangnya yang serba mengejutkan, cinta ternyata masih butuh
mekanisme agar mampu bertahan.
Cinta jangan selalu ditempatkan
sebagai iming-iming besar, atau seperti ranjau yang tahu- tahu meledakkanmu,
entah kapan dan kenapa. Cinta yang sudah dipilih sebaiknya diikutakan di setiap
langkah kaki, meerekatkan jemari, dan berjalanlah kalian bergandengan....
karena cinta adalah mengalami.
Cinta tidak hanya pikiran dan
kenangan. Lebih besar, cinta adalah dia dan kamu. Interaksi. Perkembangan dua
insan manusia yang terpantau agar tetap harmonis. Karena cinta pun hidup dan
bukan Cuma maskot untuk disembah sujud.
Kamu ingin berhenti memencet tombol
tunda. Kamu ingin berhenti menyumbat denyut alami hidup dan membirarkannya
bergulir tanpa beban.
Dan kamu tahu, itulah yang tidak
bisa di berikan kini. Hingga akhirnya......
Di
meja itu, kamu dikelilingi tulisan tangannya yang tersisa(kamu baru sadar
betapa tidak adilnya ini semua. Kenapa harus kamu yang kebagian tugas
dokumentasi dan arsip sehingga Cuma kamulah yang tersiksa?).
Jangan heran kalau kamu menangis
sejadi-jadinya. Dia, yang tidak pernah menyimpan gambar rupamu, pasti tidak
tahu apa rasanya menatap lekat-lekat satu sosok,membayangkan rasa sentuh dari
helai rambut yang polos tanpa busa pengeras, rasa hangat uap tubuh yang kamu
hafal betul temperaturnya.
Dan kamu hanya bisa berbagi kesedhan
itu, ketidakrelaan itu, kelemahan tu, dengan
wangi bunga yang melangu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa, dengan
malam yang pasrah digusur pagi, dengan dtik jam dinding yang gagu karena abis
daya.
Sampai
pada halaman kedua suratmu, kamu yakin dia akan paham, atau setdaknya setengah
memahami, betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
Tidak ada sepasang mata lain yang
mampu meyakinkanmu bahwa ini memang sudah usai. Tidak ada kata. Peluk, cium,
atau langkah kaki beranjak pergi, yang mampu menjadi pennda dramatis bahwa
sebuah akhir telah diputuskan bersama.
Atau sebaliknya, tidak ada sergahan
yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata ‘jangan’ yang mungkin, apabila
diucapkan dan ditindakkan dengan tepat, akan membuatmu menghambur kembali dan
tak mau pergi lagi.
Kamu pun tersadar, itulah perpisahan
saling sepi yang pernah kamu alami.
Ketika
surat itu tiba di titiknya yang terakhir, masih akan ada sejumput kamu yang
bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai. Bagian dari
dirimu yang merasa paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kalian
bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hari sedahsyat itu. Dirimu yang
mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain, menetap
untuk terus menemani sejarah. Dan karena waktu semakin larut, tenagamu pun
sudah menyurut, maka kamu akan membiarkan si keciil bertahan semuanya.
Mungkin, suatu saat, apabila
sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, ia akan berteriak- teriak ingin
pulang. Dan kamu akan menjemputtnya, lalu membiarkan sejarah membentangi
dirinya dengan tembok tebal yang tak lagi bisa ditembus. Atau mungkin, ketika
sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercusuar,
kompas, bintang selatan..... yang menunjukan jalan pulang bagi hatimu untuk,
akhirnya, menemuiku.
Aku,
yang merasakan apa yang kau rasakan. Yang mendamba untuk mengalami. Aku, yang
telah menulisakn surat-surat cinta padamu. Surat-surat yang tak pernah sampai.
Anda Baru saja membaca artikel tentang Surat yang tak pernah sampai dan anda bisa menemukan artikel Surat yang tak pernah sampai ini dengan url https://tokoyagis.blogspot.com/2013/07/desember-awal-penderitaan.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Surat yang tak pernah sampai ini bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Surat yang tak pernah sampai sumbernya.
Ini kalo diangkat/dibawain ke podcast bisa ngga ya?
ReplyDelete