[2000]
Sekarang
pukul 01.30 pagi di tempatmu.
Sulit
wajahmu pasti sedang terlipat di antara kerutan sarung bantal. Rambutmu yang
tebal menumpuk di sisi kanan, karena engkau tidur terlungkup dengan muka
menghadap ke sisi kiri. Tanganmu selalu tampak menggapai, apakah itu yang
selalu kau cari di bawah bantal?
Aku selalu ingin mencuri waktumu.
Menyita perhatianmu. Semata
-mata supaya aku bisa terpilin masuk kedalam lipatan
seprai tempat tubuhmu sekarang terbaring.
Sudah hampir tiga tahun aku begini.
Dua puluh delapan bulan. Kalikan tiiga puluh. Kalikan dua puluh empat. Kalikan
enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Kalikan enam puluh. Niscaya akan kau
dapatkan angka ini: 4.354.560.000
Itulah banyaknya milisekon sejak
pertama aku jatuh cinta padamu. Angka itu bisa lebih fantastis kalau ditarik
sampai skala nano. Selahkan cek. Dan aku berani jamin engkau masih ada disitu.
Di tiap inti detik, dan di dalamnya lagi, dan lagi, dan lagi...
Penunjuk waktuku tak perlu
mahal-mahal. Merayu. Kejujuran sudah seperti riasan wajah yang menor, tak
terbayang menambahinya lagi dengan rayuan. Angka miliaran tadi adalah fakta
matematis. Empiris. Siapa bilang cinta mampu menambah dimensi angka dan rasa
sekaligus.
Sekarang
pukul 02.30 di tempatmu. Tak terasa sudah satu jam aku di sini. Menyumbangkan
lagi 216.000 milisekon ke dalam rekening waktuku. Terimakasih aku semakin kaya
saja. Andaikan bisa kutambhakan satuan rupiah, atau lebih baik lagi, dolar, di
belakangnya. Tapi engkau tak ternilai. Engkau adalah pangkal, ujung, dan segalanya
yang di tengah-tengah. Sensasi ilahi. Tidak dolar, tak juga yen, mampu
menyajikannya.
Aku tak pernah terlalu tahu keadaan
tempat tidurmu. Bukan aku yang sering ada disitu. Entah siapa. Mungkin Cuma
bantal guling atau bantal-bantal ekstra. Terkadang benda-benda mati justru
mendapatkan apa yang paling kita inginkan, dan tak sanggup kita bersaing
dengannya. Aku iri pada baju tidurmu, handukmu, apalagi pada guling... sudah
stop. Aku tak sanggup melanjutkan. Membayangkan saja ngeri. Apa rasanya dipeluk
dan didekap tanpa pretensi? Itulah surga. Dan manusia perlu beribadah
jungkir-balik untuk mendapatkannya? Hidup memang bagaikan mengitari Gunung
Sinai. Tak diizinkannya kita untuk berjalan lurus-lurus saja demi mencapai
tanah perjanjian.
Kini, izinkan aku tidur. Menyusulmu
ke alam abstrak di mana segalanya bisa bertemu. Pastikan kau ada di sana, tidak
terbangun karena ingin pipis, atau mimpi buruk. Tanggu aku.
Begitu banyak yang ingin
kubicarakan. Mari kita piknik, mandi susu, potong tumpeng, main pasir, adu jangkrik,
balap karung, melipat kertas, naik getek, tarik tambang.... tak ada yang tak
bisa kiita lakukan, bukan? Tapi kalau boleh memilih satu:aku ingin mimpi tidur
di sebelahmu. Ada tanganku di bawah bantal. Tempat jemarimu menggapai- gapai.
Tidurku meringkuk ke sebelah kanan
sehingga wajah kita berhadapan. Dan ketika matamu terbuka nanti, ada aku
disana. Rambutku yang berdiri liar dan wajahmu yang tercetak kerut seprai.
Tiada yang lebih indah dari cinta
dua orang di pagi hari. Dengan muka berkilap, bau keringat, gigi bermentega,
dan mulut asam... mereka masih berani tersenyum dan saling menyapa ‘selamat
pagi’
Anda Baru saja membaca artikel tentang Selagi Kau Lelap dan anda bisa menemukan artikel Selagi Kau Lelap ini dengan url https://tokoyagis.blogspot.com/2013/07/selagi-kau-lelap.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Selagi Kau Lelap ini bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Selagi Kau Lelap sumbernya.
No comments:
Berkomentar dengan baik dan tidak ada istilah melecehkan dengan format mencemarkan nama baik,...